Senin, 05 Mei 2014

doc:ist
Publik akhir-akhir ini ramai membicarakan kasus plagiasi Anggito Abimanyu, dosen Universitas Gajah Mada (UGM). Dalam media online merdeka.com, Anggito Abimanyu akhirnya mundur sebagai dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM. Pengunduran diri terkait dengan plagiarisme pada tulisannya ‘Gagasan Asuransi Bencana’ di kolom Opini Kompas edisi 10 Januari 2014. Secara tidak langsung mengakui berbuat plagiat, namun ia mengatakan terjadi kesalahan pengutipan referensi dalam sebuah folder di komputer pribadi, yang belakangan diketahui merupakan kertas kerja yang ditulis Hotbonar Sinaga dan Munawar Kasan. Anggito sendiri dikenal sebagai akademisi dan pejabat negara, yang memiliki rekam jejak hebat dan sangat berintegritas. Awalnya, sebagian masyarakat menyangsikan kabar ini. Kenapa tidak, Universitas Gajah Mada, satu dari sekian universitas handal Indonesia ternyata tak luput dengan praktik plagiat.
Kisah kelam jiplak-menjiplak di kalangan akademisi kampus dimulai jauh sebelum kesialan yang dialami Anggito. Salah satunya menghampiri Institut Teknologi Bandung. Disertasi Zuliansyah lolos membawanya meraih gelar doktor. Sayang sekali. Kenekatan mengikutkan hasil disertasinya ke Konferensi Internasional Cybernetics dan Sistem Intelejensia Perkumpulan Institut Insinyur Listrik dan Elektro di Chengdu, China pada 21-24 September 2008 membuat aksi tipu-tipu dosen ini terbongkar. Lagi, tahun 2012, kasus plagiat doktor calon guru besar oleh Cecep Darmawan, Lena Nuryati, dan Ayi Suherman mencuat di Universitas Pendidikan Indonesia. Tak hanya menimpa kampus, juga sejumlah 1.820 guru di daerah Pekanbaru diturunkan pangkatnya karena karya ilmiah tidak orisinil.
Apa sebenarnya plagiat itu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plagiat berarti pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan.
Kampus merah pun tak lolos dengan kejadian serupa. Seperti peristiwa yang menguak tahun 2012 membuat Dikti menjatuhkan sanksinya kepada lima dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Setali tiga uang, walaupun kejadian ini menyangkut personal, tak terlepas dampak yang dirasakan dosen-dosen lain. Saat itu Unhas dihukum. Karena kejadian ini dosen semua golongan tetap tidak bisa naik pangkat.
Juga tersiar kabar terbaru (Sindo, 11/2) WR II Unhas, Wardihan diduga menerbitkan hasil penelitian orang lain dengan judul Effect of Isolated Active Compound (BV103) of Boehmeria virgata (Forst) Guil Leaves on Anti-Proliferation in Human Cervix Hela Cells through Activation of Caspase 3 and p53 Protein yang dimuat di Tropical Medicine and Surgery (TMS), Vol.1, Issue 3, 2013. Artikel itu memiliki kesamaan dengan judul sama yang dimuat di Majalah Farmasi dan Farmakologi, Vol. 16, No.3 November 2012, Halaman 115-120. Temuan ini didukung dengan adanya surat dari Dikti Kementrian dan Kebudayaan, nomor 57/e4,5/2014 tertanggal 8 Januari 2014.
Pengusutan kasus dugaan plagiat ini pun telah diperiksa oleh tim validasi yang dipimpin Rektor Unhas, Prof Dr Idrus Paturusi. Hasilnya, tim meyakini adanya pengiriman jurnal ganda atau dugaan plagiasi dengan modus substitusi nama peneliti. Namun modus substitusi ini masih harus dibuktikan oleh Komisi Etik yang beranggotakan Dewan Senat Unhas. Di Komisi Etik inilah, para peneliti dibiarkan memberikan pembelaan (Sindo, 13/2).
Sekian data tersebut mencerminkan hobi plagiasi kalangan akademisi. Tak hanya dari strata satu (S1), strata tertinggi (S3) pun tak luput. Peraturan Dikti, hingga regulasi kampus dirasa masih belum cukup. Ini bukan sekali adanya indikasi plagiasi guru-guru besar di kampus-kampus besar. Si tertuduh menjadi bagian kecil dari teror plagiasi. Kebanyakan dari mereka bersembunyi dibalik nama besar.
Itu bisa berarti, bahwa aturan saja tidak cukup. Seorang akademisi berkaitan erat dengan intelektualitas, kacamata penilaian tidak hanya dari otak, tapi juga moral. Hobi plagiasi ini  harus dicegah dari berbagai cara. Misalnya, publikasi karya original apapun, baik di jurnal, buku dan media sosial. Kedua, junjung tinggi moral keilmuan akademisi. Mari memulai jujur dari diri sendiri.  Tidak usah menunggu orang lain untuk berbuat jujur. Sudah saatnya perguruan tinggi menjunjung tinggi norma budaya akademik, serta nilai-nilai kejujuran. 
Tulisan ini sebagai dokumentasi tulisan yang sudah dimuat dalam koran kampus Universitas Hasanuddin

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Al Amin Dawa