Kamis, 09 Januari 2014

Tulisan yang mengangkat mengenai makanan tempe, yang sering kita jumpai ternyata adalah sebuah warisan. Penelitian-penelitian mengenai Tempe pun dipaparkan disini. Tidak hanya tempe, ternyata masih banyak warisan-warisan lain, yang menjadi kekayaan Indonesia. Tentunya, tiga daulat-daulat merdeka, daulat kawasan, dan daulat hukum- yang menjadi pilar pelindung warisan-warisan itu.
Tulisan ini ditulis oleh Muhidin M.Dahlan dalam Kompas cetak. Saya pikir, karya kanda Muhidin ini mengangkat tema yang “tidak biasa”. Sehingga saya merasa penting menyimpan tulisan ini di blog saya sebagai dokumentasi. Selain itu, tulisan ini sengaja saya ketik kembali, sehingga saya bisa membagi tulisan menarik kepada teman-teman yang belum berkesempatan melihatnya pada edisi Kompas cetak Rabu 8 Januari 2013. Selamat membaca***

Daulat Tempe dan Warisan
sumber: ist
Percayalah, tempe itu warisan. Bahkan sumbangan Jawa untuk (seni masak) dunia. Sejarawan Onghokham pada 1 Januari 2000 di Kompas Edisi Milenium menulis argumentasinya satu halaman penuh bahwa tempe itu “daging dari pertanian”. Tempe adalah cara orang Jawa yang kreatif untuk menyiasati kepadatan penduduk dan sistem kerja paksa dengan menciptakan tempe sebagai gizi penolong.
Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (1992), tempe dimasukkan dalam kategori “kue” yang terbuat dari kedelai dan melewati proses peragian yang merupakan makanan kerakyatan (volks voedsel). Tempe menyumbang protein bagi masyarakat dan masih primitif secara teknologi (diinjak-injak) yang mirip dengan produksi anggur di Eropa.
Tempe yang ditemukan secara anonim dalam masyarakat ini, oleh Onghokham, disejajarkan dengan penemuan keretek yang merupakan campuran antara tembakau, cengkeh, dan saus. Keretek disebut JA Noertjahjo (2000, h 54) sebagai tonggak bangsa karena sumbangannya bagi kebiasaan masyarakat dan industri Indonesia abad ke-20. Disebut-sebut bahwa Sultan Agung, Raja Mataram, adalah perokok kelas berat. Di zaman ini pula muncul kisah Roro Mendut yang menjadi sales girl rokok abad ke-17. Rokoklah yang mempertemukan Mendut dengan Pranacitra di pasar. 
sumber:ist

Selain tempe dan keretek, masih ada jamu, batik, dan sederet warisan lain yang merupakan tonggak bangsa. Semuanya adalah warisan yang disumbang oleh keilmuan masyarakat masa lampau untuk dunia. 

Daulat warisan
Banyak memang ragam warisan. Ada yang bersifat bendawi seperti bangunan arsitektural, arsip, dan dokumen.
Warisan bisa pula berbentuk sistem politik dan hukum yang melindungi semesta warisan yang ada. Soekarno-Hatta dan sejumlah nama yang tersebutkan di “buku hitam” Risalah Sidang BPUPKI-PPKI (1945) mewariskan bentuk negara kesatuan yang berbentuk “Republik” (daulat kawasan), teks Proklamasi (daulat merdeka) yang berdiri diatas tripanji kemandirian: berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan bermartabat secara kebudayaan, serta UUD 1945 (daulat hukum).
Tiga daulat itulah-daulat merdeka, daulat kawasan, dan daulat hukum- yang menjadi pilar utama pelindung semua warisan yang ada. 

Negara gagal
Negara yang diatur sebuah rezim yang tak bisa menjaga warisan  adalah “negara gagal”. Ilustrasinya begini. Jika sebuah keluarga atau perusahaan menuju titik bangkrutnya, langkah paling akhir yang dilakukan adalah menjual warisan yang dititipkan leluhurnya berupa perhiasan, tanah, surat berharga, dan lain-lain.
Itulah yang kita lihat dalam 10 tahun terakhir. Satu-satu warisan itu tergadaikan tanpa ada proteksi apa pun dari pemerintah. Tempe sebagai warisan Jawa untuk dunia sudah lama habis dikunyah rente yang praktiknya dibiarkan.
Jamu sebagai warisan sumber daya genetika, secara diam-diam, juga terdorongke meja jagal korporasi internasional jika diplomasi pemerintah gagal memberikan perlindungan dari pemangsaan negara-negara pengklaim paten yang memiliki penguasaan teknologi. Sinyal bahwa jamu dan warisan sumber daya genetika lainnya terancam terlihat ketika pada tahun 1990-an, ketika petani Indonesia yang menanam tanaman herbal dituding perusahaan kosmetik raksasa Jepang melanggar paten. Padahal, tanaman-tanaman herbal petani itu lazim dipakai sebagai jamu. 

Daulat tempe
KPK menyatakan, dari 45 blok minyak dan gas yang beroperasi di Indonesia, 70 persen dikuasai kepemilikan asing.
Menteri-menteri yang berwenang, alih-alih bekerja keras mengembalikan daulat “bangsa tempe” ini, malah tak memiliki energi untuk menjaga kedaulatan negara.
Menjaga warisan hijau di hutan Sumatera dan Kalimantan? Siapa yang mau percaya jika menjaga museum nasional yang notabene letaknya berada di hidung penghuni Istana Negara saja tidak becus. Ini bukan sekadar pencurian biasa, melainkan bisa dibaca sebagai sasmita betapa lemahnya (pemimpin) bangsa ini merawat dan menjaga warisan yang dititipkan leluhur kepadanya.
Apabila dalam proses pembuatan tempe, kedelai diinjak-injak, apakah kita harus menjadi kedelai yang diinjak-injak pencuri asing dan kompradornya? Lalu menjadi bangsa tempe yang tak berdaulat lagi? Tak lagi berdaulat di darat, laut, dan udara. Lalu dimana kita (seharusnya) bisa berdiri?

Rabu, 08 Januari 2014

Tulisan ini adalah hasil godokan bersama Kak Ilo (HI), tahun 2011 lalu. Iseng-iseng membuka berkas di kamar untuk membuang kertas yang sudah tidak diperlukan lagi, mengarahkanku menemukan naskah ini. Seolah terhempas kembali tiga tahun lalu, hasil diskusi bersama Kak Ilo yang membantu ku menemukan keluarga ini. Sepertinya lebih tepat, saya mengkopi semua isi diskusi bersamanya dalam sini.
Terimakasih bantuannya Kak Ilo, karena meluangkan banyak waktu mengajarkanku ^_^. Dan pesan itu, “Terus Belajar”, yang coba saya terus lakukan, hanya membaca kuakui masih sering bolong, mungkin pengaruh mie instant, #oppssss, -_-
Foto Bersama pada Dies Natalis identitas 38

Foto Bersama di acara Dies Natalis 38

Tulisan ini sebagai syarat masuk identitas. Tulisan yang diperlakukan oleh Litbang ku kala itu, Kak Syukri, yang mengatakan “Tulisan ini saya kali nol, bila tanpa loyalitas”. Syok, menantang dan tak terlupakan, yang membawaku hingga kini untuk menjawab pertanyaan di benakku tiga tahun silam, “Seberapa hebatnya sich kata loyalitas itu?”
Wisuda Taufik

Wisuda Taufik

Kini saya tau, itulah sebuah pertanyaan yang sedang coba kujawab, yang juga mengantarkan ku pada keluarga kecil ini. Keluarga hangat yang banyak mengajarkan banyak hal. Mungkin, kata itu pula yang memaku ku di tempat duduk ini sekarang, menghempaskan jauh-jauh gambaran mahasiswa yang saya coba deskripsikan dalam tulisan di bawah ini.
Jauh, dan semakin jauh, kemudian saya ingin kembali mengetahui kemanakah akhirnya kelak kata itu akan membawaku? ***

Merosotnya Nilai-Nilai Gerakan Mahasiswa
Budaya hedonisme dan konsumerisme menggerus nilai-nilai ideal gerakan mahasiswa. Imbasnya adalah lahirnya karakter mahasiswa yang cenderung apatis, individualis, pragmatis, dan oportunis. Kondisi tersebut kemudian mempengaruhi gerakan mahasiswa yang ada dan tentunya kondisi tersebut juga tidak muncul karena hal itu saja. Mahalnya biaya pendidikan akibat komodifikasi pendidikan, serta ketiadaan tesis yang dibangun dalam gerakan mahasiswa.
Sejarah pergerakan mahasiswa dengan pemerintah dan elite politik sudah berlangsung sejak lama. Tahun 1966 misalnya, mahasiswa secara lantang menyuarakan isu Tritura. Kemudian tahun 1970 mahasiswa melakukan aksi menentang kenaikan harga minyak serta budaya korupsi di tubuh pemerintahan. Selanjutnya mahasiswa juga kencang menggugat berbagai persoalan yang dinilai sepihak, tidak adil dan tidak demokratis seperti peristiwa Malari (1974), kebijakan pembekuan Dewan Mahasiswa (1978), asas tunggal Pancasila (1984), dan SDSB (1988).
Berbeda dengan partai politik yang berorientasi kekuasaan, gerakan mahasiswa memperjuangkan nilai-nilai (value) yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Gerakan mahasiswa adalah seperangkat kegiatan mahasiswa yang bergerak menentang dan mempersoalkan realitas objektif yang dianggap bertentangan dengan realitas subjektif mereka. Hal itu termanisfestasikan melalui aksi-aksi politik dari yang bersifat lunak hingga sangat keras seperti penyebaran poster, tulisan, di media massa, diskusi-diskusi politik, lobi, dialog, petisi, mogok makan, mimbar bebas, pawai di kampus, mengunjungi lembaga kenegaraan, turun ke jalan, perebutan dan pendudukan fasilitas-fasilitas strategis seperti lembaga kenegaraan stasiun radio serta televisi, dan lain-lain.
Mahasiswa mengambil pilihan itu karena merasakan dan memahami bahwa ada nilai-nilai yang “ suci” atau ideal dan bahkan “universal” yang mengalami ancaman khususnya karena kebijakan pemerintah. Mahasiswa berdemonstrasi karena menemukan banyak gejala atau praktik yang hendak menggusur dan bahkan membunuh nilai-nilai tersebut. Vijay Sathe dalam Culture and Related Corporate Realities (1958) mendefinisikan nilai sebagai basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for. Ungkapan “Worth striving for” menunjukkan bahwa pada suatu saat manusia rela mengorbankan nyawanya untuk mengejar sesuatu nilai.
Hal tersebut yang saat ini mulai tergerus dalam perjalanan zaman dalam pergulatan gerakan mahasiswa di Indonesia. Gerakan mahasiswa ternyata ikut larut dalam kondisi sosial budaya masyarakat kita, dimana budaya hedonisme dan konsumerisme yang demikian tinggi. Arah gerakan mahasiswa sudah tidak lagi berbicara konteks memperjuangkan kepentingan masyarakat tertindas baik dari penghisapan bangsa sendiri dan bangsa asing. Tetapi lebih berbicara apa yang dapat diuntungkan dari situasi yang sulit ini. Degradasi inilah yang menyebabkan kemerosotan pola pikir dan daya intelektual mahasiswa.
Mahasiswa sudah banyak berkurang tentang ide-ide cemerlang terhadap nasib bangsa apalagi tentang kerelaan untuk mengorbankan nyawa demi tegaknya nilai-nilai ideal. Padahal mahasiswa harusnya berjiwa idealis, progresive, militan, dan revolusioner untuk mempertanyakan segala hal dari yang bersifat pinggiran ke masalah yang bersifat asasi sekaligus melakukan perubahan-perubahan yang dicita-citakannya. Dalam dunia gerakan mahasiswa sudah tidak bisa lagi bertumpu pada hanya sekadar retorika semata.
Kesediaan untuk berkorban demi tegaknya nilai-nilai yang dianggap ideal adalah investasi utama bagi lahirnya radikalisme mahasiswa. Namun, seringkali idealisme dan radikalisme gerakan mahasiswa tidak diiringi dengan kalkulasi-kalkulasi yang strategis dan taktis. Gerakan mahasiswa seiring berjalan terlalu berani namun terlalu lurus tanpa perhitungan yang matang. Akibatnya, gerakan mahasiswa mudah sekali dibaca, dikendalikan, dan akhirnya dimanfaatkan gerakan kelompok kepentingan.

Makassar, Maret 2011
Design by Al Amin Dawa