Senin, 25 November 2013

Sumber foto: internet

     Pada tulisan sebelumnya, lebih banyak dibahas mengenai manfaat sunat bagi pria. Hasil penelitian membuktikan sunat laki-laki mengurangi risiko seseorang mengalami infeksi menular seksual (IMS). Sunat pada laki-laki mampu mengurangi risiko AIDS hingga 60 persen (Lusia Kus Anna, 2011).  Kenyataannya selain pada laki-laki, sunat juga dilakukan pada perempuan. Lalu, bagaimana dengan sunat perempuan?
     Beberapa agama tertentu memang mewajibkan sunat, seperti Islam dan Yahudi. Dalam Islam, sunat bahkan diatur secara jelas dalam sebuah hadist. Rasulullah SAW. bersabda: "Kesucian (fitrah) itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut ketiak, memendekkan kumis, dan memotong kutu" (H.R. Bukhari Muslim). Sunat atau khitan dianggap sebagai media mensucikan diri bagi umat Islam. Seseorang benar-benar diakui sebagai seorang muslim apabila ia telah melakukan sunat. Namun, jika hingga ia dewasa belum pernah disunat, keislamannya akan dipertanyakan. Tidak heran, seseorang yang baru saja masuk Islam (baca: mualaf), ia benar-benar seorang Islam apabila telah disunat. 
     Hingga saat ini, sunat perempuan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa pihak mengecam sunat pada perempuan dan menudingnya sebagai tindakan mutilasi. Namun, sebagian lainnya mendukung sunat perempuan dengan alasan agama dan budaya. Selama ini, masyarakat melakukan sunat bukan semata-mata untuk menjaga kesehatan, tetapi lebih kepada alasan untuk menahan nafsu. Sebagian masyarakat, khususnya di Indonesia, menganggap bahwa sunat mampu mengurangi nafsu seseorang, apalagi seorang perempuan.
     Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan bahwa sunat perempuan sama sekali tidak memberikan manfaat medis. Sunat perempuan justru berdampak negatif bagi perempuan dan merugikan kesehatan. Dampak yang bisa timbul, antara lain perdarahan dan sakit kepala luar biasa yang dapat mengakibatkan shock atau kematian, infeksi pada seluruh organ panggul, tetanus, dan gangrene yang dapat menyebabkan kematian, serta kesulitan atau sakit saat buang air karena adanya pembengkakan dan sumbatan pada saluran urine. 
     Di beberapa negara, sunat perempuan bahkan dilarang keras karena dianggap sebagai tindakan mutilasi. WHO menyebut sunat pada perempuan bukanlah sunat, melainkan female genital mutilation. Sunat perempuan dianggap sebagai tindakan mutilasi karena memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kelamin yang berdampak pada komplikasi saat melahirkan dan berhubungan seks. Bagian yang biasanya dipotong atau dihilangkan adalah labia minora, labia mayora, dan klitoris. WHO sudah sejak lama mengecam sunat perempun, beberapa negara juga sudah melarang sunat, misalnya Amerika. Namun, masih banyak negara yang memperbolehkan sunat perempuan, seperti Afrika dan Indonesia. 

     Praktik sunat perempuan di Indonesia mungkin tidak lebih parah daripada di Afrika. Di Indonesia, sunat perempuan hanya sekadar dibersihkan, di-kerok menggunakan pisau, atau memotong sedikit bagian tertentu. Berbeda dengan prosesi di Afrika, sunat perempuan dilakukan dengan memotong seluruh alat kelamin luar, biasanya labia minora, labia mayora, atau klitoris, menggunakan alat yang belum tentu steril. Hal inilah ditakutkan selama ini, jangan sampai sunat perempuan menjadi bumerang yang menyebabkan berbagai infeksi menular seksual, komplikasi melahirkan, dan rasa tidak nyaman  saat berhubungan seks.
     Di Indonesia, larangan sunat perempuan dari PBB dikecam oleh banyak pihak, baik dari masyarakat luas maupun pemuka agama. Syariat agama dan mempertahankan tradisi adalah alasan kuat sehingga menolak pelarangan sunat perempuan. Sampai saat ini, Menteri Kesehatan pun masih memperbolehkan sunat perempuan begitupun juga MUI. Masih sangat sulit mengubah pola pikir masyarakat tentang ritual sunat perempuan ini. Masih banyak masyarakat yang menjalankan ritual ini, baik di pedesaan maupun perkotaan. Seseorang perempuan dianggap tidak suci dan aib jika ia tidak pernah disunat. Mereka juga akan dianggap tidak taat agama dan menyalahi tradisi nenek moyang. Ironi memang, di tengah pesatnya perkembangan iptek, ternyata masih banyak masyarakat yang mempertahankan tradisi yang merugikan kesehatan. Dibutuhkan upaya yang lebih keras untuk menyuarakan dampak merugikan sunat perempuan dan diperlukan kesabaran ekstra untuk menunggu dukungan pemerintah secara penuh terkait pelarangan sunat perempuan.

    Tulisan merupakan artikel ulang yang disadur kembali dari blog http://heart-unhas.blogspot.com/2013/04/sunat-perempuan-polemik-agama-tradisi.html.

4 komentar:

  1. Ini satu ritual yang susah dimengerti , inilah salah satu yang menyebabkan dunia diluar islam yang menilai bahwa derajat wanita di dunia islam sangat rendah.Orang yang berpendidikan akan goyang kepala .Saya kira ritual ini dilakukan oleh umat Islam yang mungn pendidikannya tidak baik.Artikel yang baik .Semoga ada reformasi di Islam supaya islam maju. .... salam bloger (www.duniacerdas.com)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semua hal terkadang memang harus dikaji kembali, mengenai apa dan bagaimana serta mengapa yang akan membawa kita pada satu jawaban "manfaat". Semoga artikel ini bermanfaat pula bagi yang lainnya.
      Salam bloger,

      Hapus
  2. amin sangat bermanfaat, cerdas (y) (www.duniacerdas.com)

    BalasHapus

Design by Al Amin Dawa