Selasa, 03 Juni 2014

Bulan Juni, sejak kapan bulan ini menjadi begitu 'berat', di antara bulan-bulan di tahun sebelumnya. Sebuah angka yang mengakhiri, dan mengawali peristiwa baru yang lain. Hujan Bulan Juni, seperti dalam sajak penyair terkenal, Sapardi, hujan benar-benar mengawali Juni di tahun 2014 ini.

Universitas Muslim Indonesia, kala berteduh dari derasnya hujan, Minggu (01/06/2014).
Semua rasa, semua rindu dan segala kepedihan semoga terhapus di bulan ini. Seperti untaian kata dalam akhir puisi Sapardi, segala rasa dibiarkan tak terucap dan cukup dirasakan menjadi sebuah keindahan. Hujan di Bulan Juni, biarkan saja titik-titik air jatuh dan memberikan ketenangan.

Hujan Bulan Juni

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Oleh Sapardi Djoko Damono



Anak-anak yang begitu riang


“Saya ingin jadi dokter Kak,” teriak seorang anak pulau pada seorang tenaga pengajar kala itu. Semangat bercita-cita itu dilontarkan dengan begitu bersemangatnya usai kelas inspirasi selama kurang lebih tiga jam di Pulau Salebo, Pangkep. Semangat yang jarang kita lihat, yah karena keterbatasan akses anak-anak pulau ini terhadap kota.

Seluruh Partisipan Kelas Inspirasi Pangkep
Kesempatan menyaksikan kobaran semangat anak-anak itu berawal dari program Kelas Inspirasi Pangkep, Makassar. Beberapa relawan termasuk pengajar, videografer dan fotografer menghabiskan dua jam melintasi perairan Pangkep untuk bisa sampai ke Pulau Salebo, yang berada dalam gugusan kepulauan Spermonde. Relawan berlatar profesi beragam ini hendak memberikan percikan inspirasi untuk mengobarkan semangat bagi anak-anak pulau untuk bermimpi dan menggenggam cita-cita mereka.
Tidak sia-sia, sambutan anak-anak sekolah satu-satunya di  Pulau Salebo ini luar biasa menghilangkan rasa mabuk laut akibat perjalanan tadi. Juga, memadamkan rasa panas yang begitu menyengat ubun-ubun kala menginjakkan kaki di pulau dengan jumlah penduduk sekira 200-an jiwa ini.
Bukan hal pertama sebenarnya, beberapa pengalaman ke pulau-pulau di Indonesia menunjukkan kondisi pendidikan yang sama. Isolasi geografi membatasi pembangunan dan pengembangan wilayah pulau. Tak terkecuali pada pendidikannya. Salah satunya di Pulau Salebo misalnya, sekolah dasar yang merupakan satu-satunya sekolah di pulau ini pun hanya memiliki 2 tenaga pengajar yang berstatus PNS, dibantu dengan 6 pengajar yang masih berstatus honorer. Perpustakaan sekolah pun belum terisi buku.  Belum kelar dengan tenaga pengajar yang minim, sekolah menghadapi sengketa lahan dengan warga. Warga pulau yang beranggapan tanahnya diambil untuk membangun sekolah hingga saat ini belum dibayarkan pemerintah.
Belum lagi transportasi dengan ibukota kabupaten yang selalu terkendala. Ketiadaan kapal reguler membuat penduduk enggan keluar pulau. Ini disebabkan sewa kapal yang mahal sekira 400-an ribu untuk keluar dan kembali ke pulau. Kepedihan itu bertambah dengan tidak tersedianya listrik di Pulau Salebo hingga saat ini. Isolasi geografis ditambah ketiadaan perhatian pemerintah mengakibatkan pengetahuan warga begitu-begitu saja, jauh dari pesatnya perkembangan informasi yang mengalir di daerah terjangkau seperti kita.
Panitia yang luar biasa
Salebo menjadi contoh pulau jauh yang tidak mendapatkan fasilitas pendidikan selayaknya. Padahal Indonesia sendiri adalah negara kepulauan dengan jumlah pulau mencapai 17.504 dengan sekitar 6000 pulau telah berpenghuni (Departemen dalam Negeri, 2004). Anak-anak pulau yang cukup banyak ini adalah cikal bakal sumberdaya manusia yang baik masa depan. Jumlah mereka yang tak sedikit patutnya lebih mendapatkan perhatian pemerintah. Baik dari segi pembangunan yang nantinya bisa dianggap mengakselerasi pengetahuan mereka, sehingga berpengaruh pada semakin baiknya kualitas pendidikan anak-anak pulau.
Sayang saja, untuk melihat pemerintah betul-betul meratakan pembangunan hingga menunjang akselerasi pendidikan pada anak-anak pulau tidak bisa disangkal akan memakan waktu lama hingga berpuluh-puluh tahun mungkin. Kegiatan-kegiatan kecil, upaya perbaikan sedikit demi sedikit patut terus diupayakan. Upaya menginspirasi mereka, duduk bersama berbagi pengetahuan jadi langkah-langkah kecil yang bisa terus dilakukan. Biarkan anak-anak pulau di Indonesia bermimpi dan menggenggam cita-cita mereka layaknya kita semua. 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran kampus Universitas Hasanuddin dengan penambahan beberapa foto

Fotografer: Ulla Berjuta Rasa

Senin, 05 Mei 2014

doc:ist
Publik akhir-akhir ini ramai membicarakan kasus plagiasi Anggito Abimanyu, dosen Universitas Gajah Mada (UGM). Dalam media online merdeka.com, Anggito Abimanyu akhirnya mundur sebagai dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM. Pengunduran diri terkait dengan plagiarisme pada tulisannya ‘Gagasan Asuransi Bencana’ di kolom Opini Kompas edisi 10 Januari 2014. Secara tidak langsung mengakui berbuat plagiat, namun ia mengatakan terjadi kesalahan pengutipan referensi dalam sebuah folder di komputer pribadi, yang belakangan diketahui merupakan kertas kerja yang ditulis Hotbonar Sinaga dan Munawar Kasan. Anggito sendiri dikenal sebagai akademisi dan pejabat negara, yang memiliki rekam jejak hebat dan sangat berintegritas. Awalnya, sebagian masyarakat menyangsikan kabar ini. Kenapa tidak, Universitas Gajah Mada, satu dari sekian universitas handal Indonesia ternyata tak luput dengan praktik plagiat.
Kisah kelam jiplak-menjiplak di kalangan akademisi kampus dimulai jauh sebelum kesialan yang dialami Anggito. Salah satunya menghampiri Institut Teknologi Bandung. Disertasi Zuliansyah lolos membawanya meraih gelar doktor. Sayang sekali. Kenekatan mengikutkan hasil disertasinya ke Konferensi Internasional Cybernetics dan Sistem Intelejensia Perkumpulan Institut Insinyur Listrik dan Elektro di Chengdu, China pada 21-24 September 2008 membuat aksi tipu-tipu dosen ini terbongkar. Lagi, tahun 2012, kasus plagiat doktor calon guru besar oleh Cecep Darmawan, Lena Nuryati, dan Ayi Suherman mencuat di Universitas Pendidikan Indonesia. Tak hanya menimpa kampus, juga sejumlah 1.820 guru di daerah Pekanbaru diturunkan pangkatnya karena karya ilmiah tidak orisinil.
Apa sebenarnya plagiat itu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plagiat berarti pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan.
Kampus merah pun tak lolos dengan kejadian serupa. Seperti peristiwa yang menguak tahun 2012 membuat Dikti menjatuhkan sanksinya kepada lima dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Setali tiga uang, walaupun kejadian ini menyangkut personal, tak terlepas dampak yang dirasakan dosen-dosen lain. Saat itu Unhas dihukum. Karena kejadian ini dosen semua golongan tetap tidak bisa naik pangkat.
Juga tersiar kabar terbaru (Sindo, 11/2) WR II Unhas, Wardihan diduga menerbitkan hasil penelitian orang lain dengan judul Effect of Isolated Active Compound (BV103) of Boehmeria virgata (Forst) Guil Leaves on Anti-Proliferation in Human Cervix Hela Cells through Activation of Caspase 3 and p53 Protein yang dimuat di Tropical Medicine and Surgery (TMS), Vol.1, Issue 3, 2013. Artikel itu memiliki kesamaan dengan judul sama yang dimuat di Majalah Farmasi dan Farmakologi, Vol. 16, No.3 November 2012, Halaman 115-120. Temuan ini didukung dengan adanya surat dari Dikti Kementrian dan Kebudayaan, nomor 57/e4,5/2014 tertanggal 8 Januari 2014.
Pengusutan kasus dugaan plagiat ini pun telah diperiksa oleh tim validasi yang dipimpin Rektor Unhas, Prof Dr Idrus Paturusi. Hasilnya, tim meyakini adanya pengiriman jurnal ganda atau dugaan plagiasi dengan modus substitusi nama peneliti. Namun modus substitusi ini masih harus dibuktikan oleh Komisi Etik yang beranggotakan Dewan Senat Unhas. Di Komisi Etik inilah, para peneliti dibiarkan memberikan pembelaan (Sindo, 13/2).
Sekian data tersebut mencerminkan hobi plagiasi kalangan akademisi. Tak hanya dari strata satu (S1), strata tertinggi (S3) pun tak luput. Peraturan Dikti, hingga regulasi kampus dirasa masih belum cukup. Ini bukan sekali adanya indikasi plagiasi guru-guru besar di kampus-kampus besar. Si tertuduh menjadi bagian kecil dari teror plagiasi. Kebanyakan dari mereka bersembunyi dibalik nama besar.
Itu bisa berarti, bahwa aturan saja tidak cukup. Seorang akademisi berkaitan erat dengan intelektualitas, kacamata penilaian tidak hanya dari otak, tapi juga moral. Hobi plagiasi ini  harus dicegah dari berbagai cara. Misalnya, publikasi karya original apapun, baik di jurnal, buku dan media sosial. Kedua, junjung tinggi moral keilmuan akademisi. Mari memulai jujur dari diri sendiri.  Tidak usah menunggu orang lain untuk berbuat jujur. Sudah saatnya perguruan tinggi menjunjung tinggi norma budaya akademik, serta nilai-nilai kejujuran. 
Tulisan ini sebagai dokumentasi tulisan yang sudah dimuat dalam koran kampus Universitas Hasanuddin

Sabtu, 15 Februari 2014

Seorang anak berusia sekitar 7 tahun duduk dilingkupi piring-piring kotor yang lumayan banyak. Sejak tadi saya mendengar, anak kecil itu ingin membantu ibunya membersihkan piring-piring yang habis dipakai makan sekeluarganya.
Anak itu beruntung, ia masih berkesempatan membantu ibunya. Tiba-tiba saja saya teringat dengan bunda. Iri, perasaan yang timbul, berganti rindu pada bunda. Sayang saja, itu yang tidak saya miliki. Apalagi untuk membantu bunda melaksanakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti anak itu.
Kala 14 tahun silam. Bunda dengan sigap melaksanakan semuanya. Mencuci, membersihkan , merawat anak-anaknya yang minta ampun nakalnya. Teringat ketika saya masih berada di kelas 2 SD. Waktu itu, saya betul-betul ingin membantu bunda mencuci pakaian, yang biasa dilakukannya subuh-subuh.
Bunda, sosok yang betul-betul tegar. Ia ingin melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah seperti itu sendiri, tanpa mau melibatkan anak-anaknya. “Kamu belajar saja nak,” lisannya ketika saya juga bangun subuh-subuh berniat membantunya. Begitu pula ketika memasak, ataupun membersihkan rumah. 

Bahkan ketika masa-masa lebaran tiba. Biasanya saya sering melihat teman-teman seusia kami kala itu membantu ibunya membuat kue, tapi saya dan adeku tidak. Sepulang sekolah, mendekati hari lebaran, kue kering khas itu sudah tersedia dalam jumlah banyak. Subhanallah, bunda melakukannya sendiri. Kami hanya perlu duduk dan menghabiskan semua kue buatannya yang enak itu.
Kalau soal rasa, bunda yang berasal dari suku Makassar dan besar di sini juga betul-betul tahu bagaimana membuat makanan yang enak. Namun, belum lagi sampai lebaran, kue sudah habis. Dan sepulang sekolah besoknya, kue sudah dibuat dan siap dihabiskan lagi. Betul-betul. Saya geleng-geleng kepala dan menoleh pada adeku, “ dek, ini ibu ndak mau dibantu. Mungkin tadi menyulap sampai ada kue sebanyak ini,”. Adikku pun hanya mengangguk-angguk.
Akhirnya, ketika kecil pun waktu saya untuk belajar betul-betul banyak. Belajar dan belajar setiap waktu. Itu yang beliau tanamkan semasa kecil di waktu berharga bisa bersamanya.
Bunda, oh bunda. Akhirnya sampai sekarang saya tidak tau bagaimana rasanya jika membantumu mencuci, membantumu membersihkan rumah atau membantumu membuat kue lebaran dan juga membantumu memasak. Saya ingin memiliki waktu itu kembali, dan melakukannya bersamamu. Seperti yang dilakukan anak itu dengan ibunya. Namun sayang, memang “waktumu yang tak banyak bersama kami”.

Pray for Bunda.

Rumah Pengasingan Soekarno


“Rumahnya sangat asri,” kagum salah satu kawan ketika mengunjungi rumah pengasingan Bung Besar Indonesia. Heroik, kesan pertama menginjakkan halaman rumah Soekarno. Sembari menahan rasa itu, saya mengelilingi rumah yang ukurannya tak seberapa ini. 
Jalan Masuk Rumah


Yah, saya berkesempatan berada di Bengkulu kali ini. Menjadi perwakilan dari Pk.identitas Universitas Hasanuddin untuk menerima penghargaan yang diberikan oleh SPS kepada identitas. Inipun dihadiri oleh kawan-kawan Lembaga Pers Mahasiswa se-Indonesia yang diundang juga menerima penghargaan yaang serupa.
Mumpung berada di kota yang dikenal dengan sebutan Bumi Raflesia ini, kami pun mencarter pete-pete mengelilingi lokasi wisata kota Bengkulu. Rumah Soekarno menjadi target utama. Di rumah ini, mejadi bukti bagian sejarah Soekarno dalam memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia. Ia diasingkan ke daerah ini kala itu. Disinilah ia juga bertemu dengan ibu Fatmawati. 
Foto bersama lukisan Ibu Fatmawati

Lukisan Ibu Fatmawati

Dalam rumah ini, semuanya disusun dalam posisi yang sama. Letak kursi, buku-buku-lemari makan, tempat tidur semuanya sama. Juga foto-foto Soekarno masih terpampang baik di rumah ini. Hanya ada beberapa renovasi untuk menjaga sisa sejarah ini, yang cukup menarik banyak wisatawan di Bengkulu. 
Buku-buku Soekarno di ruang Kerja

Kursi Tamu

Tempat Tidur

Sepeda Soekarno



Ruang tamu Soekarno

Setelah itu, kami juga singgah untuk berbelanja. Melihat oleh-oleh khas kota ini. Sayang sekali, oleh-olehnya lumayan mahal, bila dibandingkan dan cukup merogoh isi saku kami. Haha, namun apa daya, kami baru kesini dan perlu ada oleh-oleh yang menjadi tanda. 
Gelang Khas Bengkulu

Benteng Marlborough
Rute berlanjut ke Benteng Marlborough, tidak banyak cerita yang bisa saya dapatkan kala itu. Kota ini lumayan panas dan lumayan sepi. Benteng juga penuh dengan peserta Hari Pers Nasional dan kami juga cukup bosan dengan acara kala itu. 
Akhirnya, menghilangkan kepenatan, sopir pete-pete kembali membawa kami melihat Pantai panjang Bengkulu, satu pantai terkenal di kota ini. Disebut Pantai panjang karena panjangnya sejauh 2 km. Sopir menghentikan pete-pete tepat di Pantai Pasir Putih. Bagi saya, pasir pantai yang putih terlampau sering kulihat, hanya yang menjadi pembeda adalah anginnya yang begitu kencang. Ampun kencangnya, saya hampir saja berterbangan juga, -lho-. Juga menikmati penganan khas tepi pantai Bengkulu membuat bobot badanku menjadi sedikit berat. Menikmati Buah Kelapa di balai-balai yang disediakan menjadi pilihan tak boleh terlewatkan. Syahdu----haha. 
Gorengan Tepi Pantai

Menikmati Suasana Pantai

Bengkulu masih sepi, jauh dari keramaian kota besar yang biasanya macet. Pete-pete hanya bisa dijumpai siang hari, dan malam hari warga biasanya menggunakan angkutan pribadi atau ojek. Akhirnya, kami harus kembali. Beberapa kawan sudah harus ke bandara untuk segera pulang ke kota masing-masing.. Kami meninggalkan kota ini dengan harapan Bengkulu bisa semaju kota lainnya.
 Teringat cerita seorang kawan yang datang jauh dari provinsi sebelah. Ia kawan se-SMAku dulu. Dengan bermaksud mengantar sang bunda ke RS Wahidin, saya bersama kawan-kawan yang lain pun menjenguknya di salah satu penginapan dalam kampus Unhas. Saat mencoba mengobrol jauh perihal sakit yang diderita ibunda, “ Pernah dioperasi kanker payudara, tapi sel kanker menyebar lagi ke organ lain, dan organ tidak ditau dan ini sedang diperiksa,” jelasnya.
Cerita mengenai kanker payudara ini pun sebelumnya sudah saya dengar secara langsung. Dua mahasiswa seangkatan saya, menceritakan bahwa mereka baru saja operasi benjolan di payudara, diperkirakan tumor yang bisa berpotensi kanker. “Itulah saya ndak pernah makan mie instan lagi, dilarang dokter,” terang salah satu kawanku.
Kanker payudara, penyakit yang menyerang segala umur. Tidak peduli kalangan mana. Apalagi kita di kalangan mahasiswa. Kisah kedua kawan saya bisa menjadi bagian kecil dari cerita gesitnya kanker ini menyerang remaja-remaja di kampus merah.
Stres ternyata menyumbang peranan yang besar dalam kejadian kanker payudara.  Stres, kata yang begitu sering diucapkan beberapa orang usai menghadapi kesulitan. Apalagi di kalangan mahasiswa, terkendala sedikit, biasa kita dengar, “uhh, stres ku deh begini,”. Berdampak tidak baik, terutama bagi wanita. Stress bisa memicu timbulnya kanker payudara. Pada perempuan, stres akan memompa hormon estrogen lebih banyak. Hormon estrogen berlebih adalah faktor utama pemicu kanker payudara.
Data yang dipaparkan dalam Kompas (13/2/2014) bahwa penelitian di Inggris menunjukkan 25 dari 100 perempuan yang tingkat stresnya tinggi berisiko terkena kanker payudara. Stres merupakan salah satu faktor kanker selain faktor genetik, konsumsi lemak, dan konsumsi alkohol. 

Kanker payudara 99 persen diderita oleh perempuan. Kasus ini selalu meningkat tiap tahun dan berada di tingkat terbanyak kedua jenis kanker yang diderita perempuan Indonesia setelah kanker serviks (leher rahim).
Namun di RS Kanker Dharmais, jumlah kasus kanker payudara lebih banyak dibandingkan kanker serviks. Pada 2002, ada 225 orang. Tahun 2012, jadi ada 809 orang. “dari deteksi dini, kami menemukan banyak kanker payudaara memiliki tingkat stress yang begitu tinggi, baik dari pekerjaan, sedang  sekolah S3, maupun tekanan rumah tangga, “ kata Hardina Sabrida, Kepala Unit Deteksi Dini RS kanker Dharmais (Kompas, 13/2/2014).
Sejumlah pasien mengaku telah menjaga pola makan, tidak makan daging berlebih, tidak minum alkohol, dan banyak mengonsumsi sayuran. Tetapi tetap terkena kanker payudara. Menurut Hardina, stres harus dikelola agar minimal dengan istirahat cukup. Berlibur atau melakukan kegiatan yang disukai akan sangat membantu. Selain itu, banyak minum air putih banyak. 

Ini perlu mendapat perhatian dari remaja-remaja. Terlebih bagi mahasiswa yang mudah stres dan akhirnya berpotensi menambah deretan penderita kanker payudara.

Jumat, 14 Februari 2014

Hari Valentine sudah menjadi begitu lumrah di telinga anak muda sekarang. Mungkin saja ketenaran Hari Valentine yang jatuh tepat 14 Februari ini mengalahkan hari-hari penting lainnya seperti Hari Peringatan Kemerdekaan atau Hari Ibu. Banyak cara diungkapkan anak muda untuk memaknai hari yang dikenal sebagai hari kasih sayang ini. Bisa saja menghabiskan waktu bersama dengan saling bertukar kado, atau saling memberikan cokelat, atau beragam hal lazim lainnya.
Bagi anak muda di daerah ketika masa saya, perayaan Valentine hanya bermakna bagi segelintir anak muda. Namun, cerita perayaan Valentine yang meriah bisa saya lihat melalui cerita remaja di seberang daerah atau reklame, dan promosi terkait Valentine.
Begitu pula, ketika Valentine yang jatuh pada hari ini, bertubi-tubi pertanyaan diajukan kawan-kawan saya di kampus. “Kemana Valentine ini, dikasi kado apa,” lisannya bertanya. “Saya tidak tau Valentine, hanya dengar saja,” jawabku ringkas. Selain itu, saya pernah pula mendengar obrolan kawan saya bahwa Valentine adalah budaya Yahudi. Sekilas, namun itu mungkin menjadi salah satu alasan saya kurang menanggapi keberadaan hari Valentine.
Namun, kebisingan suara-suara kawan-kawan yang menyerbuku dengan pertanyaan seputar pemaknaan Valentine cukup mengganguku. Ketika bersantai, saya pun berkesempatan membaca opini yang dimuat dalam harian Tribun Timur tanggal 13 terkait hari Valentine. Ternyata saya mendapatkan penjelasan Sejarah Valentine ini.
Sebenarnya hari Valentine adalah hari kematian seorang pendeta bernama Santo Valentino. Santo Vanlentino medapatkan hukuman mati dari Raja Romawi pada abad ketiga Masehi yang bernama Claudus II Ghoticus. Ia dihukum karena melanggar aturan kerajaan. Kala itu, ia menikahkan seorang prajurit muda yang saat itu sedang menjalin cinta dan kasih sayang. Tindakan ini dianggap bertentangan dengan ketentuan kerajaan, sehingga Santo Valentine terpaksa dipacung oleh eksekutor kerajaan tepatnya pada tanggal 14 Februari 269. 

Namun, keputusan kerajaan tersebut bertentangan dengan pihak Gereja. Mereka menganggaap tindakan Santo sudah benar, karena telah melindungi dan menyelamatkan orang yang sedang dimabuk cinta, sehingga diapun dinobatkan menjadi pahlawan kasih sayang. Berangkat dari hal tersebut, maka setiap tanggal 14 Februari mayoritas orang-orang menganggap dan meyakininya sebagai hari kasih sayang.
Hari Valentine juga telah diwarisi dari budaya Romawi Kuno, yakni acara pemujaan dan penyembahan kepada dua Dewa besar, Dewa Leparcus (Dewa Kesuburan) dan Dewa Faunus (Dewa Alam Semesta). Upacara pemujaan itu dirayakan masa kekuasaan Kaisar Kontantine (280-337M) setiap tanggal 15 Februari. Dalam upacara tersebut, sang kaisar memberikan kesempatan pada remaja wanita untuk menyampaikan pesan cintanya kepada pria pujaannya. Kemudian para remaja pria akan menerima pesan-pesaan cinta tersebut, mereka akan berpasang-pasangan, berdansa dan bernyanyi bersama, hingga melakukan hubungan yang melampaui batas.
Namun, pada abad V Masehi, 494, Paus Glasium I menetapkan upacara penyucian ini sebagai peringatan hari kasih sayang (Valentine’s Day). Tanggal peringatannya pun diubah menjadi setiap 14 Februari, yaitu tanggal dihukumnya Pendeta Santo Valentino. Banyak pihak pun menilai ini sebagai hari pembodohan terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia.
Perkembangan anggapan hari kasih sayang ini menyebabkan erosi moral dari generasi muda kita. Pada hari ini berkembanglah budaya pacaran, saling mengucapkan cinta dan bahkan lebih jauh sarat dengan aktivitas free sex. Hal ini ditandai dengan laris manisnya penginapan dan tempat-tempat pelesiran pada momen ini.
Menelisik sejarah tersebut, dapat kita berkesimpulan, generasi muda kita sedang salah taksa atau salah memaknai hari ini. Tulisan yang membawa penerangan bahwa hari ini murni bukan hari kasih sayang. Namun, hari kematian pendeta dan juga hari menyembah dewa bangsa Romawi Kuno. Hari ini yang kemudian dijadi-jadikan oleh bangsa dulu untuk menjadi hari Valentine dalam kemasan yang berbeda pada masa sekarang. 

Namun, menurut saya, Kasih Sayang lagi-lagi tidak terbatas pada satu hari. Kasih sayang bisa kita lakukan setiap saat dimanapun dan kapanpun kita merasa perlu dan inginkan. Mengungkapkan kasih sayang tidak terbatas pada satu hari, yang memperlihatkan kita juga malah mengikuti budaya yang tidak jelas asalnya. Mari memaknai hari ini dengan bijak.

Kamis, 09 Januari 2014

Tulisan yang mengangkat mengenai makanan tempe, yang sering kita jumpai ternyata adalah sebuah warisan. Penelitian-penelitian mengenai Tempe pun dipaparkan disini. Tidak hanya tempe, ternyata masih banyak warisan-warisan lain, yang menjadi kekayaan Indonesia. Tentunya, tiga daulat-daulat merdeka, daulat kawasan, dan daulat hukum- yang menjadi pilar pelindung warisan-warisan itu.
Tulisan ini ditulis oleh Muhidin M.Dahlan dalam Kompas cetak. Saya pikir, karya kanda Muhidin ini mengangkat tema yang “tidak biasa”. Sehingga saya merasa penting menyimpan tulisan ini di blog saya sebagai dokumentasi. Selain itu, tulisan ini sengaja saya ketik kembali, sehingga saya bisa membagi tulisan menarik kepada teman-teman yang belum berkesempatan melihatnya pada edisi Kompas cetak Rabu 8 Januari 2013. Selamat membaca***

Daulat Tempe dan Warisan
sumber: ist
Percayalah, tempe itu warisan. Bahkan sumbangan Jawa untuk (seni masak) dunia. Sejarawan Onghokham pada 1 Januari 2000 di Kompas Edisi Milenium menulis argumentasinya satu halaman penuh bahwa tempe itu “daging dari pertanian”. Tempe adalah cara orang Jawa yang kreatif untuk menyiasati kepadatan penduduk dan sistem kerja paksa dengan menciptakan tempe sebagai gizi penolong.
Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (1992), tempe dimasukkan dalam kategori “kue” yang terbuat dari kedelai dan melewati proses peragian yang merupakan makanan kerakyatan (volks voedsel). Tempe menyumbang protein bagi masyarakat dan masih primitif secara teknologi (diinjak-injak) yang mirip dengan produksi anggur di Eropa.
Tempe yang ditemukan secara anonim dalam masyarakat ini, oleh Onghokham, disejajarkan dengan penemuan keretek yang merupakan campuran antara tembakau, cengkeh, dan saus. Keretek disebut JA Noertjahjo (2000, h 54) sebagai tonggak bangsa karena sumbangannya bagi kebiasaan masyarakat dan industri Indonesia abad ke-20. Disebut-sebut bahwa Sultan Agung, Raja Mataram, adalah perokok kelas berat. Di zaman ini pula muncul kisah Roro Mendut yang menjadi sales girl rokok abad ke-17. Rokoklah yang mempertemukan Mendut dengan Pranacitra di pasar. 
sumber:ist

Selain tempe dan keretek, masih ada jamu, batik, dan sederet warisan lain yang merupakan tonggak bangsa. Semuanya adalah warisan yang disumbang oleh keilmuan masyarakat masa lampau untuk dunia. 

Daulat warisan
Banyak memang ragam warisan. Ada yang bersifat bendawi seperti bangunan arsitektural, arsip, dan dokumen.
Warisan bisa pula berbentuk sistem politik dan hukum yang melindungi semesta warisan yang ada. Soekarno-Hatta dan sejumlah nama yang tersebutkan di “buku hitam” Risalah Sidang BPUPKI-PPKI (1945) mewariskan bentuk negara kesatuan yang berbentuk “Republik” (daulat kawasan), teks Proklamasi (daulat merdeka) yang berdiri diatas tripanji kemandirian: berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan bermartabat secara kebudayaan, serta UUD 1945 (daulat hukum).
Tiga daulat itulah-daulat merdeka, daulat kawasan, dan daulat hukum- yang menjadi pilar utama pelindung semua warisan yang ada. 

Negara gagal
Negara yang diatur sebuah rezim yang tak bisa menjaga warisan  adalah “negara gagal”. Ilustrasinya begini. Jika sebuah keluarga atau perusahaan menuju titik bangkrutnya, langkah paling akhir yang dilakukan adalah menjual warisan yang dititipkan leluhurnya berupa perhiasan, tanah, surat berharga, dan lain-lain.
Itulah yang kita lihat dalam 10 tahun terakhir. Satu-satu warisan itu tergadaikan tanpa ada proteksi apa pun dari pemerintah. Tempe sebagai warisan Jawa untuk dunia sudah lama habis dikunyah rente yang praktiknya dibiarkan.
Jamu sebagai warisan sumber daya genetika, secara diam-diam, juga terdorongke meja jagal korporasi internasional jika diplomasi pemerintah gagal memberikan perlindungan dari pemangsaan negara-negara pengklaim paten yang memiliki penguasaan teknologi. Sinyal bahwa jamu dan warisan sumber daya genetika lainnya terancam terlihat ketika pada tahun 1990-an, ketika petani Indonesia yang menanam tanaman herbal dituding perusahaan kosmetik raksasa Jepang melanggar paten. Padahal, tanaman-tanaman herbal petani itu lazim dipakai sebagai jamu. 

Daulat tempe
KPK menyatakan, dari 45 blok minyak dan gas yang beroperasi di Indonesia, 70 persen dikuasai kepemilikan asing.
Menteri-menteri yang berwenang, alih-alih bekerja keras mengembalikan daulat “bangsa tempe” ini, malah tak memiliki energi untuk menjaga kedaulatan negara.
Menjaga warisan hijau di hutan Sumatera dan Kalimantan? Siapa yang mau percaya jika menjaga museum nasional yang notabene letaknya berada di hidung penghuni Istana Negara saja tidak becus. Ini bukan sekadar pencurian biasa, melainkan bisa dibaca sebagai sasmita betapa lemahnya (pemimpin) bangsa ini merawat dan menjaga warisan yang dititipkan leluhur kepadanya.
Apabila dalam proses pembuatan tempe, kedelai diinjak-injak, apakah kita harus menjadi kedelai yang diinjak-injak pencuri asing dan kompradornya? Lalu menjadi bangsa tempe yang tak berdaulat lagi? Tak lagi berdaulat di darat, laut, dan udara. Lalu dimana kita (seharusnya) bisa berdiri?
Design by Al Amin Dawa