|
doc:ist |
Publik
akhir-akhir ini ramai membicarakan kasus plagiasi Anggito Abimanyu, dosen Universitas
Gajah Mada (UGM). Dalam media online merdeka.com,
Anggito Abimanyu akhirnya mundur sebagai dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM.
Pengunduran diri terkait dengan plagiarisme pada tulisannya ‘Gagasan Asuransi
Bencana’ di kolom Opini Kompas edisi
10 Januari 2014. Secara tidak langsung mengakui berbuat plagiat, namun ia
mengatakan terjadi kesalahan pengutipan referensi dalam sebuah folder di
komputer pribadi, yang belakangan diketahui merupakan kertas kerja yang ditulis
Hotbonar Sinaga dan Munawar Kasan. Anggito sendiri dikenal sebagai akademisi dan
pejabat negara, yang memiliki rekam jejak hebat dan sangat berintegritas.
Awalnya, sebagian masyarakat menyangsikan kabar ini. Kenapa tidak, Universitas
Gajah Mada, satu dari sekian universitas handal Indonesia ternyata tak luput dengan
praktik plagiat.
Kisah
kelam jiplak-menjiplak di kalangan akademisi kampus dimulai jauh sebelum
kesialan yang dialami Anggito. Salah satunya menghampiri Institut Teknologi
Bandung. Disertasi Zuliansyah lolos membawanya meraih gelar doktor. Sayang sekali.
Kenekatan mengikutkan hasil disertasinya ke Konferensi Internasional Cybernetics
dan Sistem Intelejensia Perkumpulan Institut Insinyur Listrik dan Elektro di
Chengdu, China pada 21-24 September 2008 membuat aksi tipu-tipu dosen ini terbongkar.
Lagi, tahun 2012, kasus plagiat doktor calon guru besar oleh Cecep Darmawan,
Lena Nuryati, dan Ayi Suherman mencuat di Universitas Pendidikan Indonesia. Tak
hanya menimpa kampus, juga sejumlah 1.820 guru di daerah Pekanbaru diturunkan
pangkatnya karena karya ilmiah tidak orisinil.
Apa
sebenarnya plagiat itu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plagiat
berarti pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya
seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri misalnya menerbitkan karya tulis
orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan.
Kampus
merah pun tak lolos dengan kejadian serupa. Seperti peristiwa yang menguak
tahun 2012 membuat Dikti menjatuhkan sanksinya kepada lima dosen Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin. Setali tiga uang, walaupun kejadian ini menyangkut
personal, tak terlepas dampak yang dirasakan dosen-dosen lain. Saat itu Unhas dihukum.
Karena kejadian ini dosen semua golongan tetap tidak bisa naik pangkat.
Juga
tersiar kabar terbaru (Sindo, 11/2) WR
II Unhas, Wardihan diduga menerbitkan hasil penelitian orang lain dengan judul
Effect of Isolated Active Compound (BV103) of Boehmeria virgata (Forst) Guil
Leaves on Anti-Proliferation in Human Cervix Hela Cells through Activation of
Caspase 3 and p53 Protein yang dimuat di Tropical Medicine and Surgery (TMS),
Vol.1, Issue 3, 2013. Artikel itu memiliki kesamaan dengan judul sama yang
dimuat di Majalah Farmasi dan Farmakologi, Vol. 16, No.3 November 2012, Halaman
115-120. Temuan ini didukung dengan adanya surat dari Dikti Kementrian dan
Kebudayaan, nomor 57/e4,5/2014 tertanggal 8 Januari 2014.
Pengusutan
kasus dugaan plagiat ini pun telah diperiksa oleh tim validasi yang dipimpin Rektor
Unhas, Prof Dr Idrus Paturusi. Hasilnya, tim meyakini adanya pengiriman jurnal
ganda atau dugaan plagiasi dengan modus substitusi nama peneliti. Namun modus
substitusi ini masih harus dibuktikan oleh Komisi Etik yang beranggotakan Dewan
Senat Unhas. Di Komisi Etik inilah, para peneliti dibiarkan memberikan
pembelaan (Sindo, 13/2).
Sekian
data tersebut mencerminkan hobi plagiasi kalangan akademisi. Tak hanya dari
strata satu (S1), strata tertinggi (S3) pun tak luput. Peraturan Dikti, hingga
regulasi kampus dirasa masih belum cukup. Ini bukan sekali adanya indikasi
plagiasi guru-guru besar di kampus-kampus besar. Si tertuduh menjadi bagian
kecil dari teror plagiasi. Kebanyakan dari mereka bersembunyi dibalik nama
besar.
Itu bisa
berarti, bahwa aturan saja tidak cukup. Seorang akademisi berkaitan erat dengan
intelektualitas, kacamata penilaian tidak hanya dari otak, tapi juga moral. Hobi
plagiasi ini harus dicegah dari berbagai
cara. Misalnya, publikasi karya original apapun, baik di jurnal, buku dan media
sosial. Kedua, junjung tinggi moral keilmuan akademisi. Mari memulai jujur dari
diri sendiri. Tidak usah menunggu orang
lain untuk berbuat jujur. Sudah saatnya perguruan tinggi menjunjung tinggi norma
budaya akademik, serta nilai-nilai kejujuran.
Tulisan ini sebagai dokumentasi tulisan yang sudah dimuat dalam koran kampus Universitas Hasanuddin