Pengemis (Foto Istimewa. Sumber: internet) |
Di
setiap malam
yang dingin, seorang nenek renta berdiri dengan kaku, memakai tongkat
berhias
mangkuk di tangan. Sang nenek dalam kondisi tidak bisa melihat atau
buta, sembari berjalan tertatih-tatih, mengharapkan belas kasihan dari
orang-orang yang lewat. Biasanya, tak seberapa yang juga bisa berikan.
Kemudian di
malam lain ketika melewati lokasi yang sama, dengan kaget saya melihat ia
berjalan normal, tak seperti sedang dalam kondisi buta. Namun, semua terlihat
normal. Ketika merasa diperhatikan, nenek langsung berulah seolah ia sakit dan
buta kembali. Kaget, dan shock. Sebuah
kebenaran yang tak saya pernah kira.
Sebuah
cerita di
sudut kota Makassar lain. Di depan salah satu Pom Bensin Pertamina,
biasanya
banyak pengemis berkursi roda. Ini untuk menggambarkan bahwa mereka
tidak
bisa berjalan layaknya orang normal, karena kaki mereka diamputasi.
Akhirnya,
papan ukuran 20 cm x 50 cm yang diberi roda menjadi alat bantu mereka
untuk
mengemis. Sontak dengan kagetnya, ketika saya kembali berkesempatan
melihat hal
yang sama terjadi pada nenek sebelumnya. Pengemis berkursi roda ini
berkumpul
di satu pohon yang rindang, sambil berdiskusi dengan rekannya yang
sekondisi.
Salah satunya lalu berdiri tegak untuk bisa berbicara dengan temannya.
“Waw”, mereka sedang berpura-pura dibalik ketidaknormalannya.
Pengemis beroda (Sumber: internet) |
Mungkin saja kedua hal diatas bukanlah sebuah rahasia besar. Atau juga telah banyak orang sebelumnya yang mengetahuinya. Saya yakin, mereka hanya bisa mengelus dada menyaksikan drama dunia ini.
Dengan merendahkan diri, para pengemis, terlebih untuk kategori pengemis yang berpura-pura cacat atau mengalami kondisi disabilitas, bisa mendapatkan uang yang banyak dari cara begini, yang tentunya dalam waktu yang singkat. Sehingga dengan besarnya kota ini, mereka bisa memafaatkan mereka-mereka, yang saya katakan maaf memiliki ”hati yang lemah”.
Berdasarkan data BPS bulan Mei 2010 dalam kompasiana.com, penduduk Sulawesi Selatan sekitar 8.032.551 jiwa dengan proporsi laki-laki sebesar 3.921.543 dan perempuan 4.111.008. Kepadatan penduduk sekitar 128,6 km2. Tahun 2011, penduduk kota Makassar sekitar 1.352.136 jiwa dengan profesi yang beraneka ragam. Pertumbuhan kota Makassar pesat per tahun menjadikan kaum urban dari desa atau kota lainnya datang memadati kota berlambag ayam jantan ini.
Kurangnya keterampilan dan kerasnya persaingan dalam mencari pekerjaan menyebabkan kaum urban terpinggirkan dan berprofesi sebagai sopir pete-pete, tukang becak, buruh bangunan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dan lain-lain. Ada pula yang menjadi penjual koran, pengemis dan tukang parkir liar. Pengemis punya beberapa kategori, antara lain cacat fisik akibat kecelakaan atau kandala’ (penyakit kusta), perempuan lansia, perempuan muda yang masih sehat fisiknya dan anak-anak segala usia.
Kejadian ironi di tengah majunya kota daeng. Memanfatkan kelemahan terbesar dalam diri manusia yakni, rasa iba atau biasa disebut rasa kasihan. Dari beberapa data yang dilansir, bahkan penghasilan para pengemis yang terorganisir dengan baik bisa mencapai 10 juta per bulan. Jumlah fantastis bila disejajarkan dengan gaji seorang PNS, atau seorang bupati yang bekerja keras dalam sebulan.
Inilah akhirnya sikap yang diadaptasi kaum terpinggirkan. Menunggu sedekah, untuk meningkatkan kualitas hidup mereka, mereka mati akal. Dan hanya berpikir bahwa mengemis adalah cara terbaik dan tercepat. Jadi jangan heran, mungkin ketika anda bisa ke rumah salah satu mereka, perabotan rumah serasa lengkap, mulai dari pemutar musik tercanggih, sofa terbaik, TV dengan ukuran layar yang besar, dan kemungkinan lainnya.
Kadang hati ini merasa begitu bersalah karena sering marah pada orang-orang tersebut. Kejadian ini telah mengganti rasa iba yang saya miliki menjadi kesal. Bayangkan, hanya menengadahkan tangan plus suara disetel sedikit supaya terdengar memelas, mereka sudah dapat meraup lembaran rupiah. Terlebih untuk menjalankan aksi, mereka berlindung dibalik “ketidaknormalan” itu, dan menjadi pengemis.Yah, pengemis bertopeng.
Bukan menghujat, atau iri atas penghasilan besar pengemis seperti ini, namun hanya sekadar menggelitik rasa. Mereka, yang saya sebut tega memanfaatkan rasa kasihan manusia lainnya.
Setelah itu, apa yang bisa kita lakukan dengan melihatnya, apakah mereka yang harus dipersalahkan. Saya pikir tidak. Keberadaan masyarakat berkarakter seperti ini menjadi “tugas rumah” pemerintah Kota Makassar saat ini dan berikutnya. Mari berbenah bersama.
Dengan merendahkan diri, para pengemis, terlebih untuk kategori pengemis yang berpura-pura cacat atau mengalami kondisi disabilitas, bisa mendapatkan uang yang banyak dari cara begini, yang tentunya dalam waktu yang singkat. Sehingga dengan besarnya kota ini, mereka bisa memafaatkan mereka-mereka, yang saya katakan maaf memiliki ”hati yang lemah”.
Berdasarkan data BPS bulan Mei 2010 dalam kompasiana.com, penduduk Sulawesi Selatan sekitar 8.032.551 jiwa dengan proporsi laki-laki sebesar 3.921.543 dan perempuan 4.111.008. Kepadatan penduduk sekitar 128,6 km2. Tahun 2011, penduduk kota Makassar sekitar 1.352.136 jiwa dengan profesi yang beraneka ragam. Pertumbuhan kota Makassar pesat per tahun menjadikan kaum urban dari desa atau kota lainnya datang memadati kota berlambag ayam jantan ini.
Kurangnya keterampilan dan kerasnya persaingan dalam mencari pekerjaan menyebabkan kaum urban terpinggirkan dan berprofesi sebagai sopir pete-pete, tukang becak, buruh bangunan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dan lain-lain. Ada pula yang menjadi penjual koran, pengemis dan tukang parkir liar. Pengemis punya beberapa kategori, antara lain cacat fisik akibat kecelakaan atau kandala’ (penyakit kusta), perempuan lansia, perempuan muda yang masih sehat fisiknya dan anak-anak segala usia.
Kejadian ironi di tengah majunya kota daeng. Memanfatkan kelemahan terbesar dalam diri manusia yakni, rasa iba atau biasa disebut rasa kasihan. Dari beberapa data yang dilansir, bahkan penghasilan para pengemis yang terorganisir dengan baik bisa mencapai 10 juta per bulan. Jumlah fantastis bila disejajarkan dengan gaji seorang PNS, atau seorang bupati yang bekerja keras dalam sebulan.
Inilah akhirnya sikap yang diadaptasi kaum terpinggirkan. Menunggu sedekah, untuk meningkatkan kualitas hidup mereka, mereka mati akal. Dan hanya berpikir bahwa mengemis adalah cara terbaik dan tercepat. Jadi jangan heran, mungkin ketika anda bisa ke rumah salah satu mereka, perabotan rumah serasa lengkap, mulai dari pemutar musik tercanggih, sofa terbaik, TV dengan ukuran layar yang besar, dan kemungkinan lainnya.
Kadang hati ini merasa begitu bersalah karena sering marah pada orang-orang tersebut. Kejadian ini telah mengganti rasa iba yang saya miliki menjadi kesal. Bayangkan, hanya menengadahkan tangan plus suara disetel sedikit supaya terdengar memelas, mereka sudah dapat meraup lembaran rupiah. Terlebih untuk menjalankan aksi, mereka berlindung dibalik “ketidaknormalan” itu, dan menjadi pengemis.Yah, pengemis bertopeng.
Bukan menghujat, atau iri atas penghasilan besar pengemis seperti ini, namun hanya sekadar menggelitik rasa. Mereka, yang saya sebut tega memanfaatkan rasa kasihan manusia lainnya.
Setelah itu, apa yang bisa kita lakukan dengan melihatnya, apakah mereka yang harus dipersalahkan. Saya pikir tidak. Keberadaan masyarakat berkarakter seperti ini menjadi “tugas rumah” pemerintah Kota Makassar saat ini dan berikutnya. Mari berbenah bersama.
0 komentar:
Posting Komentar