Tulisan yang
mengangkat mengenai makanan tempe, yang sering kita jumpai ternyata adalah
sebuah warisan. Penelitian-penelitian mengenai Tempe pun dipaparkan disini. Tidak
hanya tempe, ternyata masih banyak warisan-warisan lain, yang menjadi kekayaan
Indonesia. Tentunya, tiga daulat-daulat merdeka, daulat kawasan, dan daulat
hukum- yang menjadi pilar pelindung warisan-warisan itu.
Tulisan ini
ditulis oleh Muhidin M.Dahlan dalam Kompas
cetak. Saya pikir, karya kanda Muhidin ini mengangkat tema yang “tidak
biasa”. Sehingga saya merasa penting menyimpan tulisan ini di blog saya sebagai
dokumentasi. Selain itu, tulisan ini sengaja saya ketik kembali, sehingga saya
bisa membagi tulisan menarik kepada teman-teman yang belum berkesempatan
melihatnya pada edisi Kompas cetak Rabu 8 Januari 2013. Selamat membaca***
Daulat Tempe dan Warisan
|
sumber: ist |
Percayalah,
tempe itu warisan. Bahkan sumbangan Jawa untuk (seni masak) dunia. Sejarawan
Onghokham pada 1 Januari 2000 di Kompas
Edisi Milenium menulis argumentasinya satu halaman penuh bahwa tempe itu
“daging dari pertanian”. Tempe adalah cara orang Jawa yang kreatif untuk
menyiasati kepadatan penduduk dan sistem kerja paksa dengan menciptakan tempe
sebagai gizi penolong.
Dalam Encyclopaedie
van Nederlandsch Indie (1992), tempe dimasukkan dalam kategori “kue” yang
terbuat dari kedelai dan melewati proses peragian yang merupakan makanan
kerakyatan (volks voedsel). Tempe menyumbang protein bagi masyarakat dan masih
primitif secara teknologi (diinjak-injak) yang mirip dengan produksi anggur di
Eropa.
Tempe yang
ditemukan secara anonim dalam masyarakat ini, oleh Onghokham, disejajarkan
dengan penemuan keretek yang merupakan campuran antara tembakau, cengkeh, dan
saus. Keretek disebut JA Noertjahjo (2000, h 54) sebagai tonggak bangsa karena
sumbangannya bagi kebiasaan masyarakat dan industri Indonesia abad ke-20.
Disebut-sebut bahwa Sultan Agung, Raja Mataram, adalah perokok kelas berat. Di
zaman ini pula muncul kisah Roro Mendut yang menjadi sales girl rokok abad ke-17. Rokoklah yang mempertemukan Mendut
dengan Pranacitra di pasar.
|
sumber:ist |
Selain tempe dan
keretek, masih ada jamu, batik, dan sederet warisan lain yang merupakan tonggak
bangsa. Semuanya adalah warisan yang disumbang oleh keilmuan masyarakat masa
lampau untuk dunia.
Daulat
warisan
Banyak memang
ragam warisan. Ada yang bersifat bendawi seperti bangunan arsitektural, arsip,
dan dokumen.
Warisan bisa
pula berbentuk sistem politik dan hukum yang melindungi semesta warisan yang
ada. Soekarno-Hatta dan sejumlah nama yang tersebutkan di “buku hitam” Risalah Sidang BPUPKI-PPKI (1945)
mewariskan bentuk negara kesatuan yang berbentuk “Republik” (daulat kawasan),
teks Proklamasi (daulat merdeka) yang berdiri diatas tripanji kemandirian: berdikari
secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan bermartabat secara kebudayaan,
serta UUD 1945 (daulat hukum).
Tiga daulat
itulah-daulat merdeka, daulat kawasan, dan daulat hukum- yang menjadi pilar
utama pelindung semua warisan yang ada.
Negara gagal
Negara yang
diatur sebuah rezim yang tak bisa menjaga warisan adalah “negara gagal”. Ilustrasinya begini.
Jika sebuah keluarga atau perusahaan menuju titik bangkrutnya, langkah paling
akhir yang dilakukan adalah menjual warisan yang dititipkan leluhurnya berupa
perhiasan, tanah, surat berharga, dan lain-lain.
Itulah yang kita
lihat dalam 10 tahun terakhir. Satu-satu warisan itu tergadaikan tanpa ada
proteksi apa pun dari pemerintah. Tempe sebagai warisan Jawa untuk dunia sudah
lama habis dikunyah rente yang praktiknya dibiarkan.
Jamu sebagai
warisan sumber daya genetika, secara diam-diam, juga terdorongke meja jagal
korporasi internasional jika diplomasi pemerintah gagal memberikan perlindungan
dari pemangsaan negara-negara pengklaim paten yang memiliki penguasaan
teknologi. Sinyal bahwa jamu dan warisan sumber daya genetika lainnya terancam
terlihat ketika pada tahun 1990-an, ketika petani Indonesia yang menanam
tanaman herbal dituding perusahaan kosmetik raksasa Jepang melanggar paten.
Padahal, tanaman-tanaman herbal petani itu lazim dipakai sebagai jamu.
Daulat
tempe
KPK menyatakan,
dari 45 blok minyak dan gas yang beroperasi di Indonesia, 70 persen dikuasai
kepemilikan asing.
Menteri-menteri
yang berwenang, alih-alih bekerja keras mengembalikan daulat “bangsa tempe”
ini, malah tak memiliki energi untuk menjaga kedaulatan negara.
Menjaga warisan
hijau di hutan Sumatera dan Kalimantan? Siapa yang mau percaya jika menjaga
museum nasional yang notabene letaknya berada di hidung penghuni Istana Negara saja
tidak becus. Ini bukan sekadar pencurian biasa, melainkan bisa dibaca sebagai
sasmita betapa lemahnya (pemimpin) bangsa ini merawat dan menjaga warisan yang
dititipkan leluhur kepadanya.
Apabila dalam
proses pembuatan tempe, kedelai diinjak-injak, apakah kita harus menjadi
kedelai yang diinjak-injak pencuri asing dan kompradornya? Lalu menjadi bangsa
tempe yang tak berdaulat lagi? Tak lagi berdaulat di darat, laut, dan udara.
Lalu dimana kita (seharusnya) bisa berdiri?